tentang matematika.
kalo udah baca, kasih kritiknya disini atau boleh juga ke sini :)
Aku terdiam, menatap 7 soal matematika ini. Pasti
ini yang namanya checkmate, tidak ada langkah yang bisa dilakukan untuk
menyelamatkan sang raja. Dari tujuh nomor, aku hanya bisa menjawab dua nomor,
dua nomor itu pun aku ragu entah benar atau salah. Tapi yang pasti, soal
logaritma ini semakin meremukkan tulangku, menguras habis stamina otakku
yang memang
sedikit, dan membakar kalori hingga akhirnya membuatku lemas laksana cupang di tengah gurun saat musim panas.
Sejenak, kulihat semua wajah teman sekelasku, ada
yang sibuk, entah sibuk mengolah angka atau sibuk mengolah kesempatan untuk
mengalahkan soal-soal ini. tapi yang pasti, aku sudah tidak ada harapan untuk
bisa mencontek, karena harapan itu telah musnah, hancur, dan terpuruk di
lapisan litosfer yang terbawah saat aku melihat panjangnya jalan untuk memetik
hasil dari soal logaritma yang bercabang-cabang ini. jadi aku musnahkan saja
harapan untuk mencari jawaban tanpa cara.
Para lelaki di kubu timur kelas pun sepertinya
mengalami kondisi yang sama denganku. Raut wajah mereka menunjukan mereka
sangat kepayahan dalam menghadapi cengkraman logaritma yang sakti mandraguna.
Persetan dengan matematika, gurunya saja hampir tidak becus dalam menyebarkan
ilmu, entah karena dia malas atau dia tidak punya ilmu untuk dibagikan kepada
kami yang haus akan pengetahuan.
Aku baru sadar kenapa kancil bisa menipu harimau,
juga kenapa nelayan jaman dahulu bisa membaca arah dengan peta langit dan
kenapa kota troya yang kokoh sekuat karang bisa tahkluk oleh para tentara yunani,
pasti karena mereka cerdas. Ilmu adalah harta, warisan, bahkan senjata. Dan
sekarang, kami tidak memiliki senjata yang cukup untuk menghadapi soal
logaritma ini.
Sesaat menjelang waktu bertempur sudah habis, aku
menghela nafas. Aku teringat kata-kata guru agama kami ‘setelah kita berusaha
dan berdoa maka hendaknya kita tawakkal, berpasrah diri kepada Allah SWT’.
Kata-kata itu melayang di sekitar kepalaku, berputar, lalu masuk dan mengikat
di dalam otak kecilku, membuatku semakin berusaha menerima sesosok kenyataan
yang buruk rupa tentang bagaimana nilaiku nanti. Guru pengawas itu persis
seperti burung hantu; diam, tenang, menunggu kami yang sekarat ini untuk
melakukan sebuah kesalah kecil yang akan berakibat fatal, yaitu lembar jawaban
kami pasti akan jadi mangsanya dan efeknya akan membantai habis nilai dalam
raport semester ganjil kami.
Pada akhirnya deringan bel pertanda waktu habis
telah berbunyi. Bunyi itu meraung melolong-lolong, menggema dan membuat panik
seisi kelas yang terbius oleh buah simalakama bernama logaritma ini. bunyi itu
juga menjadi pertanda nilai matematika ku kali ini akan lebih terpuruk jauh
dari sebelumnya saatku masih menjajal pelajaran matematika di SMP. Belakangan
ini aku akhirnya tahu, kalau aku memiliki banyak teman seperjuangan, yang hanya
menjawab 1 atau 2 dari 7 soal. Yah walaupun hanya ada 6 orang yang mendapatkan ‘ceplok
telor’ di lembar ujian matematika yang pertama kali di jenjang putih abu-abu
ini, aku berusaha menerima pelukan pahit takdir, dimana aku tak bisa lari apabila
tak ada usaha untuk menggali ilmu lebih dalam lagi.
3 comment:
baguuss kak jauh ama punya saya.hehehe
kata - katanya suka bangeet. kakak penggemar sastra juga?
iya dek. kak taufik hebat dalam sastra. cerpennya bagus-bagus. bu ida juga bilang gitu. jarang ada orang kaya dia. gitu katanya.
*gue promosiin lu tuh pik !
@dita : bagusan bikinan kamu kali de .__.
@dije : waah tengkyu banget lah je, jadi terbang nih haha
Posting Komentar